Saturday, June 9, 2018

Sosok Penting di Balik Perang Indochina


Jenderal Võ Nguyên Giáp (Republik Demokratik Vietnam) terbukti lebih unggul strategi perangnya dibanding Jenderal Henri Eugène Navarre (Perancis) di Perang Indochina I.

Kekalahan Perancis itu telah mendorong munculnya pertemuan yang membahas nasib Indochina di Jenewa pada akhir April 1954. RRT yang diwakili Zhou Enlai mengalami perlakuan kurang menyenangkan dari para delegasi Blok Barat selama pertemuan itu berlangsung. Sementara posisi Republik Demokratik Vietnam (Vietnam Utara) makin tajam terhadap Negara Vietnam (Vietnam Selatan).

Pertemuan Jenewa itu sangat strategis. Pasalnya, bila saja gagal, konflik diduga akan menyeret seluruh kawasan Asia Tenggara. Untuk itu, sejumlah negara eks koloni Inggris menginisiasi pertemuan multilateral di Colombo, Sri Lanka guna mencari jalan tengah bagi ancaman keamanan regional mereka.

Sosok penting di balik Perang Indochina adalah salah satunya Hồ Chí Minh.

Friday, June 8, 2018

Workshop Ramadan


#Repost @kaka_cafe • • • Adalah kebahagian bagi banyak orang bisa kenal dengan Pak Desmond Satria Andrian, apalagi bisa belajar darinya langsung terkait geopolitik internasional.

Karena itulah KabarKampus.com menghadirkan beliau untuk berbagi perspektif dengan teman-teman muda Bandung memahami dunia yang semakin kompleks ini.

Dalam kelas limited di @KaKa_cafe ini, teman-teman seperti mendapatkan sepercik sinar Lailatul Qadar dalam memandang dunia. Horison terasa lebih luas dan jelas. Rongga dada menjadi semakin besar, tidak mudah sesak lagi.

Tampak di foto, direktur kabarkampus.com @FurqanAMC menyerahkan sertifikat sebagai tanda terima kasih kepada Pak Desmond atas dedikasinya dan sebagian peserta hadir mewakili yang lainnya.

Terima kasih Pak Desmond.

#sisteminternasional #internasional #workshop #workshopramadhan #ekonomi #politik #ekonomipolitik #bandung #eventbandung #kafe #kafebandung #mahasiswabandung #mahasiswibandung #intelektualbandung #aktivisbandung

Bulan Puasa di Negeri Singa

Konon pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, International Office pertama yang dimiliki pemerintah Indonesia di luar negeri adalah di Singapura.

Demikian buku Sejarah Diplomasi Indonesia terbitan Kemenlu tahun 1992 mengungkapkan upaya diplomasi perjuangan yang ditempuh dalam periode Revolusi Fisik untuk mendapatkan pengakuan de facto dan de jure.

Dari International Office ini juga pada masa itu tercatat sejumlah aktifitas pembelian senjata sisa Sekutu untuk memperkuat perlawanan bersenjata di tanah air. Senjata dibawa menggunakan kapal kecil yang disamarkan seperti kapal nelayan biasa.

Sayangnya, aktifitas itu terbongkar oleh NICA. Bung Hatta segera diutus oleh Bung Besar ke New Delhi untuk membeli sisa senjata Sekutu lainnya tapi Jawaharlal Nehru tak bersedia lantaran khawatir beresiko perang terbuka dengan Sekutu. Pasalnya, peristiwa terbongkarnya jual beli senjata di Singapura oleh media dan NICA bakal merembet ke India. Padahal India dan Sekutu sedang dalam tahap penyelesaian akhir sisa Perang Dunia II.

Namun, Nehru berjanji kelak membantu upaya pengakuan kedaulatan Indonesia dan janjinya tunai terbukti pada perhelatan Inter Asia Relation Conference di New Delhi yang dihadiri oleh PM Sutan Sjahrir.

Dalam pertemuan multilateral pertama bangsa-bangsa Asia itu PM Sjahrir pertama kali mengutarakan konsep politik luar negeri bebas aktif Indonesia.

Dah segitu aja.

Tuesday, June 5, 2018

Reuni Ciumbuleuit



Keterangan Foto:
 Dari kanan ke kiri: Sapta Dwikardana, Ph.D., Kaprodi HI Unpar Sylvia Yazid, Ph.D., Kepala Museum KAA Meinarti Fauzie, M.DAT, Rektor Unpar Mangadar Situmorang, Ph.D., Direktur Informasi dan Media Kemenlu Listiana Operananta, Sukawarsini Djelantik, Ph.D., Anggia Valerisha, M.Si, dan Bujang Ringam Nian.

===

Tuhan mungkin telah mengirimkan Mas Mangadar untuk mengabarkan kerendahan hati dalam berilmu kepada saya dan Oppa Lee jauh sebelum Beliau menjabat sebagai Rektor Universitas Katolik Parahyangan.

Alkisah usai UTS, saya duduk diam termenung di kelas Beliau sambil membolak balik lembar jawaban UTS yang makin lusuh lantaran dibaca berulang kali. Di sisi kanan saya terdengar dengus nafas dari seorang oppa-oppa asal Korea Selatan yang kebetulan sama-sama sedang ‘ngangsu elmu lan kaweruh’ dari Beliau.

“Dapat berapa kamu?” ujar Oppa Lee yang konon kemudian hari jadi salah seorang pejabat teras di Kementerian Reunifikasi di Negeri Ginseng kepada saya sambil menatap nanar.

“(dapat) 33!” balas saya dengan suara tak bergairah. “Kamu (dapat) berapa, Oppa?” timpal saya kepadanya.

“Haha...saya (dapat)30!” jawabnya dengan lirih.

“Ah, ada yang lebih kecil lagi,” saya bergumam dalam hati sambil tertawa geli.

Sejak itu, kami makin jarang bertemu akibat (mungkin) masing-masing sibuk berkontemplasi demi transformasi dari wujud ‘jejaden jalmi’ menjadi ‘manungsa’ agar menjadi manusia yang seutuhnya sekaligus beriman dan bertakwa kepada-Nya.

Usai sesi foto bersama pekan lalu, Mas Mangadar dengan gayanya yang bersahaja seperti biasa menghampiri saya sambil berujar, “Mana surat rekomendasi yang aku harus teken? Katanya mau ke Sorbonne?”

Pertanyaan ini terasa lebih berat dari soal UTS di kala silam bersama Oppa Lee.

Dah segitu aja.