Sunday, October 27, 2019

'Ngopi' di Unpas


Seperti kembali ke rumah sendiri. Perasaan itu yang muncul tiap kali menginjakkan kaki di kampus ini. Tak sedikit kawan seiring sejalan dalam pergerakan Bandung Spirit di Sahabat Museum KAA berasal dari kampus di bilangan Lengkong ini.

Seperti Kamis siang, (25/10/2018) itu, Ibu Ida Hindarsah datang menyapa dan berkabar. Dosen senior di Prodi Administrasi Bisnis itu - yang akrab disapa Ibu Ida - tak hanya giat mengembangkan inkubator bisnis tapi juga aktif ber-"tadarus" bersama Asian-African Reading Club setiap Rabu petang di Museum KAA. Bahkan, dalam waktu dekat ini dia tengah mempersiapkan diri menimba ilmu di sejumlah inkubator bisnis di Negeri Tulip.

Sepeminuman teh kemudian, Ibu Ida pamit. Tak lama Pak Sigid Harimurti tiba. Suara yang ramah dan senyum hangat menghias di wajahnya. Setiap kali saya menerima undangan Himpunan Mahasiswa HI, dosen senior di Prodi HI Universitas Pasundan ini selalu menyempatkan diri menemui saya dan bahkan terkadang menemani hingga selesai acara. Seperti hari itu, sekira satu jam lamanya dia mengapit di sisi kiri saya. Lantas, dia undur diri lantaran satu kelas menunggunya di ruang lain.

Alih-alih seminar formal, paparan saya perihal 'KAA dalam Paradigma HI' petang itu lebih terasa seperti 'dongeng sang kakak' kepada adik-adiknya di meja makan keluarga usai makan siang. Pasalnya, sejak awal suasana akrab seperti keluarga begitu terasa hingga ke tulang sumsum.

Sambil mencubit telinga cangkir kopi di meja, sekilas saya memandang penjuru ruang. Saya agak tercekat. Sulit ditampik, raut wajah mereka menyiratkan usia yang hijau. Saya menebak usia mereka rerata tak lebih dari jumlah jari kaki dan tangan saya.

Saya menduga-duga, ketika bidan persalinan sedang mengurus tali ari-ari mereka, mungkin saya dan kawan-kawan sepengangguran sedang sibuk berdebat perlu tidaknya bergabung ke Zona Brigade Rimba di Jatinangor. Atau, Kang Adew Habtsa jangan-jangan kala itu juga tengah disibukkan urusan karcis bus DAMRI DU-Jatinangor yang makin sulit dicari akibat inflasi.

Dibalut seragam hitam dengan emblem himpunan di lengan kiri, mereka duduk tenang menyimak. Wajah mereka berseri-seri memancarkan rasa ingin tahu.

Tak banyak yang saya bagikan. Secukupnya saja. Kiranya bermanfaat untuk mempertajam pisau analisa mereka kelak. Sebagai penstudi HI di era banjir informasi saat ini, soal struktur dan agency dalam debat analitik suka tak suka terasa makin usang. Sebaliknya, isu strategis - yang didukung pemahaman yang baik terhadap geografi, data, dan observasi faktual - tak pelak lagi akan menentukan kedalaman analisa.

Usai matahari tergelincir, saya pamit. Di perjalanan pulang terlintas nama-nama kawan yang dulu mengenyam bangku kuliah di sana.

Sunday, July 21, 2019

Kerja Praksis Inti Pendidikan Dasar GSC


Kerja praksis. Sekali lagi, praksis! Demikian Virtuous Setyaka yang akrab disapa Bung Vi menekankan pentingnya teori dan praktik dalam kerja ideologis kader Geostrategy Study Club (GSC) di masa depan.

Kerja praksis ia ulas secara utuh di hadapan 20 kader GSC dalam acara Pendidikan Dasar Angkatan I GSC, Sabtu-Minggu, (20-21/7/2019) di Sekretariat GSC KaKa Café Jalan Sultan Agung Tirtayasa Bandung.

Menurut dosen HI Universitas Andalas ini, dalam model praksis, individu menjadi obyek aktif dari perubahan sosial. Dengan begitu, kader GSC, usai pendidikan dasar ini, akan mampu melakukan analisa sekaligus merancang serta melaksanakan program yang berorientasi pada perubahan sosial.

Dalam kacamata Bung Vi sebagai eksponen aktivis 98, kader GSC tak akan lepas dari kegiatan menganalisa ide sekaligus 'turba' dengan ide-ide itu.

Malah, lanjut kandidat doktor HI ini, praksis jadi tingkatan tertinggi dan terpenting dalam tindak-hidup kader GSC.

Usai pendidikan dasar, kader angkatan perdana ini kelak langsung mempersiapkan diri untuk menggelar pendidikan dasar angkatan kedua.

Saturday, July 20, 2019

'Boga Lakon' di Balik Publikasi Museum KAA


Awal tahun 2004 saya berjumpa Pak Sunario di Kedutaan Besar India untuk Indonesia di Jakarta. Sambil tersenyum, ia menyapa saya dengan hangat. Kami berjabat erat. Ia menyapa saya dengan Bung. Sebuah sapaan paling mewah yang saya kenang hingga sekarang.

Ia kelak dipercaya mengatur laju aktifitas tim publikasi di museum yang berdiri 39 tahun silam. Di tangannya telah bergulir tak sedikit produk edukasi publik. Pengalamannya sekian tahun mengelola Pusat Studi Asia Afrika (PSAA) kiranya telah mengubah sosok asal Kuningan ini menjadi seorang 'tactical person' yang praksis, tak saja matang secara teoritis tapi juga praktik.

Tak terhitung lagi berapa opini sebagai buah penanya menghiasi halaman surat kabar lokal di Jawa Barat semasa aktif di PSAA. Satu hal yang saya rasakan menjadi keistimewaan sosok ini adalah sensitifitas terhadap paradigma. Di balik setiap peristiwa ia acap kali tak pernah gagal menangkap paradigma yang bertolak belakang dengan cara pandang khalayak.

Bukan itu saja, sosok yang kerap disandingkan dengan salah satu Menteri Luar Negeri RI di era Orde Lama ini lantaran kemiripan namanya, adalah salah satu peletak konsep Sahabat Museum KAA (SMKAA) pada tahun 2005. Tak kenal lelah, ia kala itu melakukan penjajakan ke seluruh perguruan tinggi di Kota Bandung demi terwujudnya SMKAA.

Malah, pada tahun 2009, saya ingat, ia pula didaulat sebagai salah satu peletak konsep Publikasi Museum KAA sekaligus koordinator tim publikasi. Sejak itu, ia terkenal di antara anggota timnya dengan prinsip 'Marketing is to win a war", sebuah jargon marketing à la Jepang.

Umumnya relawan SMKAA periode 2011-2016 akrab dengan sosok yang kebapakan ini lantaran rajin masuk setiap hari Minggu mendampingi program SMKAA. Itu sebabnya ia karib disapa 'Sang Ayah'. Malah, ia sempat pula turut merumuskan produk edukasi sejarah Museum KAA, yakni Bandung Historical Study Games (BHSG) pada tahun 2012.

Jumat, (19/7/2019) dalam acara Coffee Morning di Braga Permai, ia berpamitan. Ia telah menyempurnakan tanggung jawabnya sekira 30 tahun.

Ia beseloroh, "Saya sampai sekarang heran kok diminta memimpin Tim Publikasi yang anggotanya semua master dan calon doktor. Padahal, saya sendiri alumni Sekolah Dasar."