Friday, July 20, 2018

‘Jarum Pentul’, Rekatkan Museum KAA dan Publik


Dari kiri ke kanan: Kepala Museum KAA Meinarti Fauzie dan Direktur Diplomasi Publik Azis Nurwahyudi dalam sesi presentasi inovasi pelayanan publik di Kemenpan RB pada Jumat, 20/8/2018. (Sumber Foto: Kemenpan RB)

Pada tahun 2004 jumlah pengunjung museum adalah 54,478. Pasca Peringatan 50 Tahun KAA tahun 2005 Ruang Pameran Tetap Museum KAA direnovasi total. Alat peraga koleksi dirancang interaktif dan menarik. Alhasil, jumlah pengunjung meningkat. Tahun 2006 pengunjung beranjak naik menjadi 87.692 orang. Hingga tahun 2016 angka pengunjung Museum KAA terus meningkat hingga mencapai 266.747 orang. Akan tetapi, tingkat kepuasan pengunjung Museum KAA terhadap pelayanan publik menurun. Rendahnya tingkat kunjungan itu berhubungan dengan ketersediaan SDM dan fasilitas yang tidak seimbang dengan jumlah pengunjung.

Untuk itu, Museum KAA sebagai UPT di Direktorat Diplomasi Publik Kemenlu menerapkan inovasi Jarum Pentul yang merupakan akronim dari Jadi Relawan Museum Itu Penting dan Gaul. Jarum Pentul mempromosikan kebiasaan baru bahwa tanggung jawab pengembangan museum tidak melulu oleh museum tetapi juga oleh masyarakat, terutama generasi muda.

Museum KAA mengimplementasikan Jarum Pentul melalui Klub Edukator Sahabat Museum KAA yang melibatkan relawan yang dibekali pengetahuan sejarah KAA dan teknik edukasi museum untuk membantu penyuluhan Nilai-nilai KAA kepada pengunjung Museum KAA melalui strategi belajar yang mengutamakan unsur pengalaman, atmosfir, dan pelayanan.

Dampaknya, dalam sinergisitas itu Museum KAA mampu menampilkan kisah sejarah KAA dengan lebih menarik untuk pengunjung museum dengan cara diperagakan, seperti kejadian, aturan, dan urutan peristiwa sehingga pengunjung dapat melihat proses atau cara kerja KAA, seperti dalam acara Night at the Museum, Bandung Historical Study Games, dan Weekend Tour Service.

Berkat inovasi Jarum Pentul Museum KAA kini sudah dikenal sebagai museum perintis program publik di Indonesia dan telah dua kali diganjar penghargaan Museum Menyenangkan pada tahun 2015 dan tahun 2017 dalam ajang Indonesia Museum Award. Museum KAA telah sejak tahun 2011 berkomitmen mempertahankan Jarum Pentul sebagai salah satu instrumentasi pendukung pelayanan publik. Jarum Pentul berpeluang direplikasi di museum dengan penyesuaian (adjustment) dan adaptasi (adaptation) terhadap karakter koleksi, SDM, fasilitas, dan masyarakat setempat.

Menlu Retno Kunjungi Museum KAA


Menlu Retno LP Marsudi berpose bersama pimpinan dan staf Museum Konferensi Asia Afrika pada Sabtu, 14 Juli 2018 di Ruang Pameran Tetap Museum di Gedung Merdeka Jalan Asia Afrika No.65 Bandung. Sesi foto ini diambil usai Menlu Retno menggelar dialog langsung bersama 370 relawan dan anggota Sahabat Museum KAA di Ruang Utama Gedung Merdeka.

Museum ini nyaris 38 tahun silam didirikan atas gagasan Menlu Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, L.LM sebagai bagian dari upaya diplomasi berbasis nilai-nilai unggul Indonesia. Nilai-nilai itu yang diwarisi dari KAA 1955 dilestarikan untuk tujuan aset diplomasi RI.

Kemudian untuk menyambut perhelatan KAA ke-2 pada tahun 2005 Menlu Hassan Wirajuda menginisiasi renovasi total ruang pameran tetap museum menjadi lebih interaktif dan komunikatif. Sejak itu pengunjung museum ini beranjak naik hingga 5 kali lipat dari yang tadinya hanya di sekitar 54 ribuan. Tak hanya meningkat, tetapi juga berkembang terutama agregatnya.

Tahun 2009 Menlu Marty Natalegawa usai menghadiri seminar dan pameran bertajuk 'Mochtar Kusumaatmadja' di Gedung Iwa Kusumasumantri Universitas Padjadjaran menyambangi Museum KAA.

Kembali lagi ke kunjungan Menlu Retno tadi, usai berfoto, sambil berpamitan pulang, Beliau dengan hangat menyalami satu per satu staf Museum KAA dan berpesan, "Saya titip museum ya Ibu dan Bapak."

Menlu Retno juga menyampaikan berjanji akan datang kembali ke Museum KAA suatu saat untuk berjumpa dengan Sahabat Museum KAA.

Kepada para relawan dan anggota Sahabat Museum KAA, Beliau mengingatkan akan relevansi dan dampak positif peristiwa KAA bagi Indonesia dan dunia saat ini.

Thursday, July 19, 2018

Polemik Tiang Bendera

Ilustrasi foto di salah satu sudut Kota Jakarta. (Sumber Foto: Facebook)

Pertama kali menginjakkan kaki di Gedung Societeit Concordia saya menerima tugas menghitung tiang bendera di ruas Jalan Raja Timur lantaran tak lama lagi akan dipasang 106 bendera asal benua Wakanda.

Tak hanya menghitung tapi juga memeriksa kelayakan tiang per tiang. Belum usai melaporkan hasil pemantauan, akibat mengetahui salah satu bahasa di negeri Wakanda, saya diminta mendampingi seorang kurator bendera asal sebuah organisasi internasional untuk memeriksa akurasi warna, ukuran, dan citra setiap bendera.

Usai itu, pada Jumat, 23 April 2005 serentak 106 bendera dikibarkan. Ada satu bendera yang memiliki warna tak akurat. Salah satu aid-de-camp asal negara itu misuh-misuh tak henti dalam bahasa Wakanda.* Saya melipir sampai suara misuh-misuh itu lenyap ditelan kebisingan pasukan pengamanan.

Tiang yang saya hitung tadi, terutama di sekeliling Gedung Societeit Concordia dan Gedung Schouwbourg, ternyata pada titik tertentu ditanam di sejumlah makam kuno. Info ini berasal dari salah seorang tukang gali. Menurutnya, besi-besi tiang bendera itu baru terpasang sepekan sebelum perhelatan karena banyaknya kebutuhan tiang bendera di Bandara Kemayoran dan Bandara Andir.

60 tahun kemudian tiang-tiang bendera yang pernah menjadi simbol perlawanan negeri-negeri Wakanda itu dibabat oleh tukang-tukang atas perintah....ah syudahlah.

Tuesday, July 10, 2018

Mitos Solidaritas Asia Afrika

Rabu, 11 Juli 2018, Pkl. 16.30-20.00WIB di Sekretariat Sahabat Museum KAA, mari ngobrol-ngobrol sore bersama Asian-African Reading Club.


Begini kisahnya.

Sekian tahun silam, Mas Nyoman menyodorkan sebuah pertanyaan sederhana, "Mengapa kata solidaritas dipakai oleh negara Asia dan Afrika?".

Sebelumnya, Mas Bob telah mendahului bertanya kepada saya. Sambil menatap saya tajam saat menghadapnya, beliau berujar, "Solidaritas itu tak pernah ada. Itu yang kamu harus buktikan, Bung."

Dua pertanyaan mendasar ini saya temukan jawabannya dalam wawancara bersama Bapak Ramli Saud di sebuah sore yang cerah di sebuah perguruan tinggi bergengsi di bilangan Sudirman di Jakarta.

Hasil wawancara itu saya bandingkan dengan hasil riset Leo Suryadinata. Blaaaar! Mas Poer membantu rekonstruksi argumentasi ini.

Secara tak sengaja saya juga dibantu oleh seorang pustakawan di bilangan Pejambon. Ia menunjukkan kepada saya sejumlah hasil FGD internal yang mengulas rendahnya perhatian PLN RI terhadap benua Afrika.

Koffi Anan dalam sebuah artikel yang menarik pada tahun 2012 menjelenterehkan bahayanya pola hubungan Asia dan Afrika yang makin menuju ke pola asimetris. Untuk itu, ia menjuduli artikelnya dengan "How Asia can help Africa?"

Secara khusus ada dua faktor utama yang besok akan didiskusikan bersama para pegiat literasi Asian-African Reading Club.

Dah segitu aja dulu!

Thursday, July 5, 2018

Museum di Tapal Batas Negeri



Museum Kapuas Raya adalah museum di negeri tapal batas. Berada di perbatasan Indonesia dan Malaysia.

Museum ini didirikan atas hasil kerja sama antara Museum Tropen Belanda dan Pemerintah Kabupaten Sintang pada tahun 2008 silam. Koleksi yang dimiliki merepresentasikan kerukunan antara tiga etnis besar di Kabupaten Sintang, yakni Dayak, Melayu, dan Tionghoa.

Ada empat ruang pameran, yaitu Sejarah Sintang, Kebudayaan Sintang, Tenun Ikat, dan Sejarah Lambang Negara. Selain itu, terdapat pula satu buah perpustakaan dengan koleksi buku-buku tentang sejarah dan kebudayaan Sintang.

Museum yang telah berusia hampir satu dasawarsa ini kerap menjadi tuan rumah pameran internasional negara-negara Asia Tenggara. Hampir setiap tahun pengelola museum ini juga menghadiri berbagai perhelatan museum internasional.

Program publik di museum ini juga dikembangkan untuk melibatkan masyarakat melalui Sahabat Museum.

Satu lagi, saya merasa memiliki keluarga di sini. Tak lupa sambal nanas dan sayur nanas berikut ikan seluang gorengnya membuat saya terhenyak ke masa kecil di Tanjung Enim.

Terakhir, bahasa di Sintang membuat rindu kepada kampung halaman di kaki Bukit Barisan.

Monday, July 2, 2018

Hirarki di Asia Timur

Sabtu petang, 23 April 1955 di Gedung Dwi Warna Bandung PM Zhou Enlai di luar dugaan menyatakan bersedia berdialog dengan AS demi stabilitas kawasan Asia Timur.

Melihat manuver itu, PM Ali Sastroamidjojo lantas meminta kesediaan PM Zhou Enlai sekali lagi mengulangi pernyataan itu dalam sebuah konferensi pers yang dihelat di bilangan Ciumbuleuit.

Ratusan wartawan asal media nasional dan internasional berlomba-lomba mengabarkan kehebohan Ciumbuleuit itu melalui radiogram di Kantor Pos Besar Bandung. 

Sayangnya John Foster Dulles tak memanfaatkan kesempatan itu. Baru kemudian di tahun 1972 Nixon berkenan membuka dialog dengan PM Zhou Enlai. Pertemuan itu melahirkan kesepakatan yang banyak mengutip sila-sila Dasasila Bandung.

Salah satu isi kesepakatan itu adalah PM Zhou Enlai menjamin kesediaan seluruh aktor di Asia Timur untuk bersikap kontra aliansi tanpa aliansi demi masa depan Asia Timur yang berdaulat, aman, dan sejahtera.

Genealogy hirarki di Asia Timur lahir dari kesepakatan itu.