Sunday, October 27, 2019

'Ngopi' di Unpas


Seperti kembali ke rumah sendiri. Perasaan itu yang muncul tiap kali menginjakkan kaki di kampus ini. Tak sedikit kawan seiring sejalan dalam pergerakan Bandung Spirit di Sahabat Museum KAA berasal dari kampus di bilangan Lengkong ini.

Seperti Kamis siang, (25/10/2018) itu, Ibu Ida Hindarsah datang menyapa dan berkabar. Dosen senior di Prodi Administrasi Bisnis itu - yang akrab disapa Ibu Ida - tak hanya giat mengembangkan inkubator bisnis tapi juga aktif ber-"tadarus" bersama Asian-African Reading Club setiap Rabu petang di Museum KAA. Bahkan, dalam waktu dekat ini dia tengah mempersiapkan diri menimba ilmu di sejumlah inkubator bisnis di Negeri Tulip.

Sepeminuman teh kemudian, Ibu Ida pamit. Tak lama Pak Sigid Harimurti tiba. Suara yang ramah dan senyum hangat menghias di wajahnya. Setiap kali saya menerima undangan Himpunan Mahasiswa HI, dosen senior di Prodi HI Universitas Pasundan ini selalu menyempatkan diri menemui saya dan bahkan terkadang menemani hingga selesai acara. Seperti hari itu, sekira satu jam lamanya dia mengapit di sisi kiri saya. Lantas, dia undur diri lantaran satu kelas menunggunya di ruang lain.

Alih-alih seminar formal, paparan saya perihal 'KAA dalam Paradigma HI' petang itu lebih terasa seperti 'dongeng sang kakak' kepada adik-adiknya di meja makan keluarga usai makan siang. Pasalnya, sejak awal suasana akrab seperti keluarga begitu terasa hingga ke tulang sumsum.

Sambil mencubit telinga cangkir kopi di meja, sekilas saya memandang penjuru ruang. Saya agak tercekat. Sulit ditampik, raut wajah mereka menyiratkan usia yang hijau. Saya menebak usia mereka rerata tak lebih dari jumlah jari kaki dan tangan saya.

Saya menduga-duga, ketika bidan persalinan sedang mengurus tali ari-ari mereka, mungkin saya dan kawan-kawan sepengangguran sedang sibuk berdebat perlu tidaknya bergabung ke Zona Brigade Rimba di Jatinangor. Atau, Kang Adew Habtsa jangan-jangan kala itu juga tengah disibukkan urusan karcis bus DAMRI DU-Jatinangor yang makin sulit dicari akibat inflasi.

Dibalut seragam hitam dengan emblem himpunan di lengan kiri, mereka duduk tenang menyimak. Wajah mereka berseri-seri memancarkan rasa ingin tahu.

Tak banyak yang saya bagikan. Secukupnya saja. Kiranya bermanfaat untuk mempertajam pisau analisa mereka kelak. Sebagai penstudi HI di era banjir informasi saat ini, soal struktur dan agency dalam debat analitik suka tak suka terasa makin usang. Sebaliknya, isu strategis - yang didukung pemahaman yang baik terhadap geografi, data, dan observasi faktual - tak pelak lagi akan menentukan kedalaman analisa.

Usai matahari tergelincir, saya pamit. Di perjalanan pulang terlintas nama-nama kawan yang dulu mengenyam bangku kuliah di sana.

Sunday, July 21, 2019

Kerja Praksis Inti Pendidikan Dasar GSC


Kerja praksis. Sekali lagi, praksis! Demikian Virtuous Setyaka yang akrab disapa Bung Vi menekankan pentingnya teori dan praktik dalam kerja ideologis kader Geostrategy Study Club (GSC) di masa depan.

Kerja praksis ia ulas secara utuh di hadapan 20 kader GSC dalam acara Pendidikan Dasar Angkatan I GSC, Sabtu-Minggu, (20-21/7/2019) di Sekretariat GSC KaKa Café Jalan Sultan Agung Tirtayasa Bandung.

Menurut dosen HI Universitas Andalas ini, dalam model praksis, individu menjadi obyek aktif dari perubahan sosial. Dengan begitu, kader GSC, usai pendidikan dasar ini, akan mampu melakukan analisa sekaligus merancang serta melaksanakan program yang berorientasi pada perubahan sosial.

Dalam kacamata Bung Vi sebagai eksponen aktivis 98, kader GSC tak akan lepas dari kegiatan menganalisa ide sekaligus 'turba' dengan ide-ide itu.

Malah, lanjut kandidat doktor HI ini, praksis jadi tingkatan tertinggi dan terpenting dalam tindak-hidup kader GSC.

Usai pendidikan dasar, kader angkatan perdana ini kelak langsung mempersiapkan diri untuk menggelar pendidikan dasar angkatan kedua.

Saturday, July 20, 2019

'Boga Lakon' di Balik Publikasi Museum KAA


Awal tahun 2004 saya berjumpa Pak Sunario di Kedutaan Besar India untuk Indonesia di Jakarta. Sambil tersenyum, ia menyapa saya dengan hangat. Kami berjabat erat. Ia menyapa saya dengan Bung. Sebuah sapaan paling mewah yang saya kenang hingga sekarang.

Ia kelak dipercaya mengatur laju aktifitas tim publikasi di museum yang berdiri 39 tahun silam. Di tangannya telah bergulir tak sedikit produk edukasi publik. Pengalamannya sekian tahun mengelola Pusat Studi Asia Afrika (PSAA) kiranya telah mengubah sosok asal Kuningan ini menjadi seorang 'tactical person' yang praksis, tak saja matang secara teoritis tapi juga praktik.

Tak terhitung lagi berapa opini sebagai buah penanya menghiasi halaman surat kabar lokal di Jawa Barat semasa aktif di PSAA. Satu hal yang saya rasakan menjadi keistimewaan sosok ini adalah sensitifitas terhadap paradigma. Di balik setiap peristiwa ia acap kali tak pernah gagal menangkap paradigma yang bertolak belakang dengan cara pandang khalayak.

Bukan itu saja, sosok yang kerap disandingkan dengan salah satu Menteri Luar Negeri RI di era Orde Lama ini lantaran kemiripan namanya, adalah salah satu peletak konsep Sahabat Museum KAA (SMKAA) pada tahun 2005. Tak kenal lelah, ia kala itu melakukan penjajakan ke seluruh perguruan tinggi di Kota Bandung demi terwujudnya SMKAA.

Malah, pada tahun 2009, saya ingat, ia pula didaulat sebagai salah satu peletak konsep Publikasi Museum KAA sekaligus koordinator tim publikasi. Sejak itu, ia terkenal di antara anggota timnya dengan prinsip 'Marketing is to win a war", sebuah jargon marketing à la Jepang.

Umumnya relawan SMKAA periode 2011-2016 akrab dengan sosok yang kebapakan ini lantaran rajin masuk setiap hari Minggu mendampingi program SMKAA. Itu sebabnya ia karib disapa 'Sang Ayah'. Malah, ia sempat pula turut merumuskan produk edukasi sejarah Museum KAA, yakni Bandung Historical Study Games (BHSG) pada tahun 2012.

Jumat, (19/7/2019) dalam acara Coffee Morning di Braga Permai, ia berpamitan. Ia telah menyempurnakan tanggung jawabnya sekira 30 tahun.

Ia beseloroh, "Saya sampai sekarang heran kok diminta memimpin Tim Publikasi yang anggotanya semua master dan calon doktor. Padahal, saya sendiri alumni Sekolah Dasar."

Thursday, September 20, 2018

Belajar Sejarah Lambang Negara


"Permisi, Mas. Saya mau nanya. Bisa mencontohkan musyawarah mufakat yang dimaksudkan sila ke-4 itu, Mas?" demikian salah satu pertanyaan yang disampaikan peserta kuliah umum Perancangan Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila bagi sekira 110 mahasiswa semester perdana Jurusan DKV di Gedung Sipil Institut Teknologi Nasional Bandung di bilangan Suci Bandung, Kamis, 20 September 2018, Pkl. 13.00-15.00WIB.

Kuliah umum itu, seperti dijelaskan salah satu dosen Jurusan DKV Ibu Sri Retnoningsih, merupakan bagian dari mata kuliah Wawasan Nusantara yang diperuntukkan untuk mahasiswa semester awal.

Ia melanjutkan, mahasiswa melalui acara ini diharapkan dapat mengetahui sejarah pembentukan lambang negara yang tidak terlepas dari penentuan makna-makna pada lambang Garuda Pancasila.

Hal itu dirasa penting, imbuhnya, bagi mahasiswa Jurusan DKV yang mempelajari logo, simbol, dan juga lambang. "Sebab itu, idealnya makna-makna dari lambang negara perlu mereka ketahui," tukasnya.

"Tak hanya itu, bahkan spirit yang terkandung di dalamnya seharusnya menjadi semangat dan kebanggaan sebagai warga negara Indonesia," pungkas Ibu Sri Retnoningsih.

Sunday, September 16, 2018

Merawat Solidaritas Dunia Ketiga


Peserta bimbingan teknis berfoto bersama Direktur Kerja Sama Teknik Kemenlu Mohammad Syarif Alatas,  Kepala UPT Lab Bahasa Universitas Udayana Dr. I Nyoman Udayana, M.Lit., mentor native speaker Mr. Ian Marshall di Ruang Paruman Agung Inna Sindhu Beach Hotel Sanur Bail pada hari Sabtu, 15/9/2018. (Sumber Foto: Zainal Abidin)

BALI, SANUR -- “Karena Ibu dan Bapak telah rela bekerja menolong orang-orang maka saya juga rela membantu Ibu dan Bapak di sini,” ujar Ian Marshall di penghujung acara bimbingan teknis peningkatan kapasitas para penyelenggara Kerja Sama Selatan-Selatan Indonesia pada Sabtu, 15/9/2018 di Sanur Bali.

Pesan Ian Marshall mengamini kekuatan gagasan 'Masyarakat Internasional' dalam mewujudkan kerja sama yang simetris dan luwes. Relawan asal Australia itu mendampingi para kelompok ekspertis asal 20 lembaga di wilayah timur Indonesia dalam acara Bimbingan Teknis Peningkatan Kapasitas Penyelenggara Kerja Sama Selatan-Selatan (KSS) Indonesia yang dilaksanakan oleh Direktorat Kerja Sama Teknik Kemenlu dan Universitas Udayana mulai Senin, 3 hingga Sabtu, 15/9/2018 di Hotel Inna Sindhu Beach Jalan Pantai Sindhu Sanur Kota Denpasar.

Kegiatan dibuka resmi oleh Direktur Diplomasi Publik Azis Nurwahyudi pada Senin, 3/9/2018, Pkl. 08.00WIB di Ruang Paruman Agung Hotel Inna Sindhu Beach. Dalam sambutannya, ia menyampaikan apresiasi kepada seluruh lembaga penyelenggara KSS Indonesia yang telah berkontribusi dan bersinergi sebagai non-state actors dalam mendukung peningkatan kapasitas soft power Indonesia dalam program KSS.  

“Semoga para implementing agencies terkait dapat memanfaatkan dengan optimal acara bimbingan teknis ini untuk keperluan transfer ilmu pengetahuan kepada para negara peserta program KSS Indonesia,” katanya. 

Selanjutnya, Kepala Subdirektorat KST pada Organisasi Internasional Victor S. Hardjono menyampaikan sebuah paparan bertajuk Perkembangan KSS. Dalam paparan itu, disampaikan latar belakang KSS, dan capaian-capaian KSS Indonesia hingga perkembangan KSST.  “Indonesia merupakan negara dengan profil baik di KSS lantaran memiliki kontribusi tinggi,” jelasnya. Untuk itu, lanjutnya, koordinasi sinergisitas antara kementerian dan lembaga terkait perlu terus didorong.  

Acara bimbingan teknis ditutup resmi oleh Direktur Kerja Sama Teknik Mohammad Syarif Alatas pada hari Sabtu, 15/9/2018. “Saya berharap para lembaga penyelenggara KSS Indonesia dapat terus membangun sinergisitas. Pasalnya, ada kecenderungan peningkatan permintaan kerja sama teknik kepada Indonesia dalam kurun waktu terakhir,” pungkasnya.   

KSS dan Dunia Ketiga 
Pasca KAA 1955, muncul komunitas Group of Asia Africa (GAA) di Sidang Umum PBB antara tahun 1955-1960. GAA digawangi mantan PM RI Ali Sastroamidjojo yang kemudian ditunjuk Bung Besar sebagai Dubes LBBP RI untuk PBB sekaligus Kawasan Amerika. Ada sekira 25 negara Asia dan Afrika yang aktif di dalamnya. Mereka umumnya baru jadi anggota PBB akibat permainan veto DK PBB.  

Kekisruhan politik dalam negeri terutama gonjang-ganjing PNI telah mendorong Dubes Ali memutuskan pulang untuk membenahi PNI. GAA usai ditinggal Ali Sastroamidjojo menjelma menjadi Group of 77. Sekali ini cakupannya meluas hingga ke negara Amerika Latin. 

Group of 77 selanjutnya berhasil meyakinkan PBB mewujudkan sebuah mekanisme pembangunan berkeseimbangan melalui UNCTAD. Sejak itu muncul geliat kerja sama yang lebih simetris (Selatan-Selatan) sebagai koreksi atas pola tradisional yang asimetris (Utara-Selatan).

Pola ini, yang diharapkan dapat menjadi forum bersama Dunia Ketiga yang berkarakter interdependen, interkoneksi, dan interrelasi, dikenal sebagai Kerja sama Selatan-Selatan. 

Indonesia dan KSS 
Indonesia sejak tahun 1980-an aktif dalam mendukung kerja sama simetris ini. Terutama setelah Orde Baru memutuskan tampil kembali di politik internasional, kerja sama itu makin menguat.  

Pasca doktrin baru PLN RI yang menambahkan paragraf baru dari Rowing Two Reefs menjadi Navigating a Turbulent Ocean, dua pilar all direction diplomacy untuk arena dan total diplomacy untuk aktor melibatkan seluruh komponen bangsa, termasuk berbagai lembaga ekspertis yang berada di naungan kementerian dan lembaga.

Orkestra dua pilar ini memerlukan keterlibatan stakeholders secara aktif dan partisipatif. Pasalnya, sinkronisasi antara arena dan aktor dalam doktrin baru ini sejalan dengan konsep soft power dan peran 'Masyarakat Internasional' untuk kepentingan nasional Indonesia

Monday, September 10, 2018

Selamat Jalan Bung Peter Kasenda



Saya masih menyimpan dengan baik catatan sejarah perjalanan pergerakan progressive revolusioner di masa Orde Baru yang Beliau sampaikan dua tahun silam.

Kisah itu disampaikan di tempat yang tidak biasa. Pasalnya, hal itu Beliau tuturkan di situs bersejarah Gedung Indonesia Menggugat di Bandung pada Sabtu, 11 Juni 2016 dalam sebuah acara yang digelar oleh GMNI Bandung. Di situs itu Bung Besar pernah menggelorakan pidato bertajuk 'Indonesia Menggugat' di masa kolonial.

Turut hadir pada waktu itu Bapak Muradi, PhD sebagai pembahas. Sementara saya sendiri memantik diskusi perihal reorientasi PLN RI pasca Orde Lama.

Semoga semua ilmu yang telah Beliau bagikan selama ini menjadi amal kebaikan. Amin YRA.

Friday, September 7, 2018

Dirgahayu 70 Tahun Kontra Aliansi Tanpa Aliansi: Sebuah Renungan 1948-2018


 M. Yamin dan Visi Perantau Nusantara

A. Identitas: Unit Politik vs Unit Kultural 

Puluhan tahun silam gagasan M. Yamin bisa jadi kontroversial. Sebab, gagasannya akan wilayah negara Indonesia dalam sidang PPKI tahun 1945 terasa utopis. M. Yamin menyoal masa depan wilayah negara Indonesia yang melampaui konsep negara bangsa à la Westphalian. Diskusi mendalam tentang wilayah negara Indonesia pada rapat-rapat PPKI itu merepresentasikan kesadaran para founding fathers akan keserasian antara konsep negara-bangsa sebagai Unit Kultural atau Unit Politik. 

Sisi Unit Kultural diwakili oleh pendapat A.K. Moezakir dan M. Yamin. Sedangkan sisi Unit Politik diwakili oleh pendapat M. Hatta dan Soepomo. Dalam rapat besar pada 10 Juli 1945, A.K. Moezakir mengajukan usul untuk mempertautkan batas wilayah negara Indonesia dengan batas-batas wilayah Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.

Pendapat terakhir ini secara teoritis gayung bersambut dengan gagasan M. Yamin. Dalam debat itu M. Yamin berada dalam satu kubu dengan A.K. Moezakir. Pasalnya, M. Yamin mengajukan pandangan bahwa penentuan batas negara Indonesia mestinya tidak hanya berdasarkan hukum internasional, melainkan juga menurut dasar kemanusiaan dan Ilahi. Dalam hal ini agaknya dasar gagasan M. Yamin sebagai Urang Awak sedikit banyak terpengaruh oleh tradisi merantau.

Menurut M. Yamin, wilayah Indonesia kelak idealnya akan terdiri atas delapan kepulauan Nusantara. Rangkaian kepulauan itu terbentang mulai timur hingga barat Nusantara. Di sebelah timur Nusantara rangkaian dimulai dari Sulawesi dengan pulau-pulau kecil di sekelilingnya, Sunda Kecil dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya, dan Maluku dengan pulau-pulau kecil di antaranya serta Papua dengan pulau-pulau kecil di sekelilingnya.

Lalu di sebelah barat rangkaian itu terdiri atas Sumatera dan pulau-pulau kecil di sekelilingnya, Melayu dan pulau-pulau kecil di sekelilingnya, dan Borneo dengan pulau-pulau kecil di sekelilingnya, serta Jawa dengan pulau-pulau kecil di sekelilingnya.

Tak hanya itu M. Yamin juga mengusulkan agar memasukkan sejumlah wilayah lain, seperti tinggalan Hindia Belanda, Semenanjung Melayu, Borneo Utara, daerah Kedah, Perlis, Trengganu, Timor Portugis, dan seluruh Papua serta jejak kultural wilayah Kerajaan Sriwijaya, dan Kerajaan Majapahit.

Walau akhirnya kesadaran Unit Politik diterima secara aklamasi, akan tetapi pendapat M. Yamin terasa makin relevan di kemudian hari. Ini terutama pasca Robert Dick Reid dan Stephen Oppenheimer berhasil mengungkap jejak kaki para pelaut Polinesia yang bertaburan di wilayah Asia Pasifik. Jejak itu terbentang mulai Amerika Latin hingga Pantai Barat Afrika. Jejak itu telah mengantar penyingkapan kolektif memori perantau Nusantara di seluruh kawasan Unit Kulutral.

B. Intensi: Perantau Unit Kultural vs Perantau Unit Politik 

Cara pandang M. Yamin terhadap bentuk wilayah Indonesia yang berangkat dari pendekatan Unit Kultural berguna dalam mengkonstruksi peta perantau Nusantara dari masa ke masa. Ada perbedaan mencolok pada motivasi merantau antara perantau Unit Kultural dan Unit Politik. Perbedaan motivasi itu mempengaruhi cara pandang perantau Nusantara terhadap Indonesia sebagai sebuah Unit Politik saat ini. 


Perantau Unit Kultural adalah mereka yang merantau ke negeri seberang jauh sebelum kelahiran wilayah Indonesia sebagai sebuah Unit Politik. Komunitas perantau ini dapat dikategorikan dalam dua periode. Periode pertama terjadi jauh sebelum era merkantilisme internasional mencengkeram Nusantara. Dalam periode ini perantau asal Nusantara tampil sebagai aktor globalisasi purba. 

Berkat pengetahuan navigasi dan teknologi perahu bercadik, mereka sukses menjalankan tugas menghubungkan Jalur Sutra Maritim sebagai nadi perekonomian dunia. Perantau periode ini kemudian banyak menetap di daerah baru di sekitar pesisir pantai timur Afrika. Di daerah baru itu mereka mengalami akulturasi dengan kebudayaan setempat.

Motivasi utama komunitas perantau periode ini adalah perdagangan. Kenangan indah akan tanah leluhur Nusantara yang gemah ripah loh jinawi terus terawat dalam kolektif memori mereka. Dalam kenangan itu harapan untuk menziarahi tanah leluhur pada suatu masa terus hidup. Periode kedua terjadi di masa merkantilisme internasional. Di masa ini ada gelombang migrasi pekerja asal Nusantara. Kapal-kapal kongsi dagang internasional membawa mereka berlabuh di pantai Lautan Atlantik dan Lautan Pasifik. Kemelaratan di negeri leluhur Nusantara akibat kolonialisme dan bencana alam telah memaksa mereka terpisah dari tanah kelahiran. Di negeri rantau mereka masih menyimpan kenangan indah akan tanah leluhurnya. Dalam kenangan itu ada harapan akan negeri leluhur. 

Berbeda dengan kemunculan perantau Unit Kultural yang dilatari niat luhur, seperti motivasi perdagangan dan bertahan hidup, perantau Unit Politik umumnya muncul akibat tragedi politik dalam negeri. Ada perantau yang terusir akibat lahirnya Indonesia sebagai Unit Politik, akibat perbedaan pandangan politik pemerintah yang berkuasa, dan akibat konflik wilayah negara. Komunitas perantau periode ini lebih lazim disebut sebagai perantau eksil. Motivasi suaka politik kental mewarnai kehidupan mereka di negeri rantau. 

Perbedaan itu tak ayal lagi turut pula mempengaruhi cara pandang perantau terhadap Indonesia sebagai sebuah Unit Politik hari ini. Cara pandang perantau Nusantara itu menentukan sejauh mana pengaruh perantau sebagai aktor independen terhadap kepentingan nasional Indonesia: konstuktif atau destruktif?

C. Interaksi: Kenangan vs Harapan 

Kenangan dan harapan adalah hidup dan menghidupi perasaan para perantau Unit Kultural. Pada tingkat domestik, dua hal ini berpengaruh terutama terhadap nilai dan norma sosial di tingkat individu. Nilai dan norma sosial di tingkat individu perantau Unit Kultural ini diasumsikan memiliki kekuatan untuk membentuk identitas dan kepentingan nasional sebuah negara. Alhasil, perilaku negara di tingkat internasional dipengaruhi oleh nilai dan norma sosial yang berkembang di antara perantau Unit Kultural ini. M. Yamin bisa jadi sudah melihat potensi ini pada masa persiapan kelahiran Indonesia. Bagi M. Yamin yang juga seorang perantau asal negeri Minang, tradisi Takana Juo dan Balik Basamo adalah wujud pengabdian seorang anak rantau terhadap negeri leluhurnya.

Baru-baru ini, bila dibandingkan komunitas perantau Unit Politik, komunitas perantau Unit Kultural justru cenderung lebih dekat dengan tanah leluhur Nusantara. Sebab, para perantau itu memiliki kemiripan identitas, motivasi, dan preferensi terhadap tanah leluhurnya. Alhasil, pola kedekatan itu berpeluang membentuk struktur sosial baru antara Indonesia dan sejumlah komunitas perantau. Bila terus dikembangkan, bukan tak mungkin struktur itu kelak dapat berpengaruh positif terhadap kepentingan nasional Indonesia.

Takana Juo alias kenangan akan tanah leluhur terus menyala dalam sanubari keturunan perantau Unit Kultural dan berpengaruh terhadap politik domestik di negeri rantau (inside the states). Sementara itu, harapan akan kehidupan yang lebih baik terus memupuk rasa rindu akan negeri asal (inside the people). Dua hal ini adalah strategis bagi tumbuhnya persepsi positif baik dari negeri leluhur maupun negeri tujuan perantau.

Persepsi itu nantinya kelak jadi lahan subur tempat bertumbuhnya perimbangan kekuatan di antara dua negara asal dan tujuan perantau. Hal lain yang menentukan kekuatan konstruksi kohesivitas diaspora selain identitas, motivasi, dan preferensi adalah manfaat kongkrit dari tali silaturahmi yang telah terbangun. Misalnya ikatan emosi di antara dua negara itu yang tumbuh lantaran reflektifisme masa lalu diwujudkan menjadi kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan. Bahkan, tak menutup kemungkinan dapat dikembangkan menjadi peluang Voting Power di berbagai forum multilateral untuk kepentingan kedua belah pihak. 

Terlepas dari kisah sukses para perantau Unit Politik, kesadaran Unit Kultural ini idealnya adalah modal reflektifisme diplomasi publik Indonesia. Diaspora Nusantara layak berangkat dari kesadaran konsep perantau à la M. Yamin.

Tabik! 

=== 

Rujukan

Robert Dick-Read. Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika. Terj. Edrijani Azwaldi. (Bandung: Mizan, 2005).

Yudi Latif. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. (Jakarta: Gramedia, 2011).

Mochtar Naim. Mengapa Orang Minang Merantau? (Jakarta: Tempo, 31 Januari 1975). 

William H. Frederick dan Soeri Soeroto. Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. (Jakarta: LP3ES, 1984).

Susanto Zuhdi. Nasionalisme, Laut, dan Sejarah. (Depok: Komunitas Bambu,2014).

Stefano Guzzini, Anna Leander. Constructivism and International Relations Alexander Wendt and his Critics (The New International Relations). (New York: Routledge, 2006).

Foto tersedia di tautan padamu.net