Thursday, September 20, 2018

Belajar Sejarah Lambang Negara


"Permisi, Mas. Saya mau nanya. Bisa mencontohkan musyawarah mufakat yang dimaksudkan sila ke-4 itu, Mas?" demikian salah satu pertanyaan yang disampaikan peserta kuliah umum Perancangan Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila bagi sekira 110 mahasiswa semester perdana Jurusan DKV di Gedung Sipil Institut Teknologi Nasional Bandung di bilangan Suci Bandung, Kamis, 20 September 2018, Pkl. 13.00-15.00WIB.

Kuliah umum itu, seperti dijelaskan salah satu dosen Jurusan DKV Ibu Sri Retnoningsih, merupakan bagian dari mata kuliah Wawasan Nusantara yang diperuntukkan untuk mahasiswa semester awal.

Ia melanjutkan, mahasiswa melalui acara ini diharapkan dapat mengetahui sejarah pembentukan lambang negara yang tidak terlepas dari penentuan makna-makna pada lambang Garuda Pancasila.

Hal itu dirasa penting, imbuhnya, bagi mahasiswa Jurusan DKV yang mempelajari logo, simbol, dan juga lambang. "Sebab itu, idealnya makna-makna dari lambang negara perlu mereka ketahui," tukasnya.

"Tak hanya itu, bahkan spirit yang terkandung di dalamnya seharusnya menjadi semangat dan kebanggaan sebagai warga negara Indonesia," pungkas Ibu Sri Retnoningsih.

Sunday, September 16, 2018

Merawat Solidaritas Dunia Ketiga


Peserta bimbingan teknis berfoto bersama Direktur Kerja Sama Teknik Kemenlu Mohammad Syarif Alatas,  Kepala UPT Lab Bahasa Universitas Udayana Dr. I Nyoman Udayana, M.Lit., mentor native speaker Mr. Ian Marshall di Ruang Paruman Agung Inna Sindhu Beach Hotel Sanur Bail pada hari Sabtu, 15/9/2018. (Sumber Foto: Zainal Abidin)

BALI, SANUR -- “Karena Ibu dan Bapak telah rela bekerja menolong orang-orang maka saya juga rela membantu Ibu dan Bapak di sini,” ujar Ian Marshall di penghujung acara bimbingan teknis peningkatan kapasitas para penyelenggara Kerja Sama Selatan-Selatan Indonesia pada Sabtu, 15/9/2018 di Sanur Bali.

Pesan Ian Marshall mengamini kekuatan gagasan 'Masyarakat Internasional' dalam mewujudkan kerja sama yang simetris dan luwes. Relawan asal Australia itu mendampingi para kelompok ekspertis asal 20 lembaga di wilayah timur Indonesia dalam acara Bimbingan Teknis Peningkatan Kapasitas Penyelenggara Kerja Sama Selatan-Selatan (KSS) Indonesia yang dilaksanakan oleh Direktorat Kerja Sama Teknik Kemenlu dan Universitas Udayana mulai Senin, 3 hingga Sabtu, 15/9/2018 di Hotel Inna Sindhu Beach Jalan Pantai Sindhu Sanur Kota Denpasar.

Kegiatan dibuka resmi oleh Direktur Diplomasi Publik Azis Nurwahyudi pada Senin, 3/9/2018, Pkl. 08.00WIB di Ruang Paruman Agung Hotel Inna Sindhu Beach. Dalam sambutannya, ia menyampaikan apresiasi kepada seluruh lembaga penyelenggara KSS Indonesia yang telah berkontribusi dan bersinergi sebagai non-state actors dalam mendukung peningkatan kapasitas soft power Indonesia dalam program KSS.  

“Semoga para implementing agencies terkait dapat memanfaatkan dengan optimal acara bimbingan teknis ini untuk keperluan transfer ilmu pengetahuan kepada para negara peserta program KSS Indonesia,” katanya. 

Selanjutnya, Kepala Subdirektorat KST pada Organisasi Internasional Victor S. Hardjono menyampaikan sebuah paparan bertajuk Perkembangan KSS. Dalam paparan itu, disampaikan latar belakang KSS, dan capaian-capaian KSS Indonesia hingga perkembangan KSST.  “Indonesia merupakan negara dengan profil baik di KSS lantaran memiliki kontribusi tinggi,” jelasnya. Untuk itu, lanjutnya, koordinasi sinergisitas antara kementerian dan lembaga terkait perlu terus didorong.  

Acara bimbingan teknis ditutup resmi oleh Direktur Kerja Sama Teknik Mohammad Syarif Alatas pada hari Sabtu, 15/9/2018. “Saya berharap para lembaga penyelenggara KSS Indonesia dapat terus membangun sinergisitas. Pasalnya, ada kecenderungan peningkatan permintaan kerja sama teknik kepada Indonesia dalam kurun waktu terakhir,” pungkasnya.   

KSS dan Dunia Ketiga 
Pasca KAA 1955, muncul komunitas Group of Asia Africa (GAA) di Sidang Umum PBB antara tahun 1955-1960. GAA digawangi mantan PM RI Ali Sastroamidjojo yang kemudian ditunjuk Bung Besar sebagai Dubes LBBP RI untuk PBB sekaligus Kawasan Amerika. Ada sekira 25 negara Asia dan Afrika yang aktif di dalamnya. Mereka umumnya baru jadi anggota PBB akibat permainan veto DK PBB.  

Kekisruhan politik dalam negeri terutama gonjang-ganjing PNI telah mendorong Dubes Ali memutuskan pulang untuk membenahi PNI. GAA usai ditinggal Ali Sastroamidjojo menjelma menjadi Group of 77. Sekali ini cakupannya meluas hingga ke negara Amerika Latin. 

Group of 77 selanjutnya berhasil meyakinkan PBB mewujudkan sebuah mekanisme pembangunan berkeseimbangan melalui UNCTAD. Sejak itu muncul geliat kerja sama yang lebih simetris (Selatan-Selatan) sebagai koreksi atas pola tradisional yang asimetris (Utara-Selatan).

Pola ini, yang diharapkan dapat menjadi forum bersama Dunia Ketiga yang berkarakter interdependen, interkoneksi, dan interrelasi, dikenal sebagai Kerja sama Selatan-Selatan. 

Indonesia dan KSS 
Indonesia sejak tahun 1980-an aktif dalam mendukung kerja sama simetris ini. Terutama setelah Orde Baru memutuskan tampil kembali di politik internasional, kerja sama itu makin menguat.  

Pasca doktrin baru PLN RI yang menambahkan paragraf baru dari Rowing Two Reefs menjadi Navigating a Turbulent Ocean, dua pilar all direction diplomacy untuk arena dan total diplomacy untuk aktor melibatkan seluruh komponen bangsa, termasuk berbagai lembaga ekspertis yang berada di naungan kementerian dan lembaga.

Orkestra dua pilar ini memerlukan keterlibatan stakeholders secara aktif dan partisipatif. Pasalnya, sinkronisasi antara arena dan aktor dalam doktrin baru ini sejalan dengan konsep soft power dan peran 'Masyarakat Internasional' untuk kepentingan nasional Indonesia

Monday, September 10, 2018

Selamat Jalan Bung Peter Kasenda



Saya masih menyimpan dengan baik catatan sejarah perjalanan pergerakan progressive revolusioner di masa Orde Baru yang Beliau sampaikan dua tahun silam.

Kisah itu disampaikan di tempat yang tidak biasa. Pasalnya, hal itu Beliau tuturkan di situs bersejarah Gedung Indonesia Menggugat di Bandung pada Sabtu, 11 Juni 2016 dalam sebuah acara yang digelar oleh GMNI Bandung. Di situs itu Bung Besar pernah menggelorakan pidato bertajuk 'Indonesia Menggugat' di masa kolonial.

Turut hadir pada waktu itu Bapak Muradi, PhD sebagai pembahas. Sementara saya sendiri memantik diskusi perihal reorientasi PLN RI pasca Orde Lama.

Semoga semua ilmu yang telah Beliau bagikan selama ini menjadi amal kebaikan. Amin YRA.

Friday, September 7, 2018

Dirgahayu 70 Tahun Kontra Aliansi Tanpa Aliansi: Sebuah Renungan 1948-2018


 M. Yamin dan Visi Perantau Nusantara

A. Identitas: Unit Politik vs Unit Kultural 

Puluhan tahun silam gagasan M. Yamin bisa jadi kontroversial. Sebab, gagasannya akan wilayah negara Indonesia dalam sidang PPKI tahun 1945 terasa utopis. M. Yamin menyoal masa depan wilayah negara Indonesia yang melampaui konsep negara bangsa à la Westphalian. Diskusi mendalam tentang wilayah negara Indonesia pada rapat-rapat PPKI itu merepresentasikan kesadaran para founding fathers akan keserasian antara konsep negara-bangsa sebagai Unit Kultural atau Unit Politik. 

Sisi Unit Kultural diwakili oleh pendapat A.K. Moezakir dan M. Yamin. Sedangkan sisi Unit Politik diwakili oleh pendapat M. Hatta dan Soepomo. Dalam rapat besar pada 10 Juli 1945, A.K. Moezakir mengajukan usul untuk mempertautkan batas wilayah negara Indonesia dengan batas-batas wilayah Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.

Pendapat terakhir ini secara teoritis gayung bersambut dengan gagasan M. Yamin. Dalam debat itu M. Yamin berada dalam satu kubu dengan A.K. Moezakir. Pasalnya, M. Yamin mengajukan pandangan bahwa penentuan batas negara Indonesia mestinya tidak hanya berdasarkan hukum internasional, melainkan juga menurut dasar kemanusiaan dan Ilahi. Dalam hal ini agaknya dasar gagasan M. Yamin sebagai Urang Awak sedikit banyak terpengaruh oleh tradisi merantau.

Menurut M. Yamin, wilayah Indonesia kelak idealnya akan terdiri atas delapan kepulauan Nusantara. Rangkaian kepulauan itu terbentang mulai timur hingga barat Nusantara. Di sebelah timur Nusantara rangkaian dimulai dari Sulawesi dengan pulau-pulau kecil di sekelilingnya, Sunda Kecil dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya, dan Maluku dengan pulau-pulau kecil di antaranya serta Papua dengan pulau-pulau kecil di sekelilingnya.

Lalu di sebelah barat rangkaian itu terdiri atas Sumatera dan pulau-pulau kecil di sekelilingnya, Melayu dan pulau-pulau kecil di sekelilingnya, dan Borneo dengan pulau-pulau kecil di sekelilingnya, serta Jawa dengan pulau-pulau kecil di sekelilingnya.

Tak hanya itu M. Yamin juga mengusulkan agar memasukkan sejumlah wilayah lain, seperti tinggalan Hindia Belanda, Semenanjung Melayu, Borneo Utara, daerah Kedah, Perlis, Trengganu, Timor Portugis, dan seluruh Papua serta jejak kultural wilayah Kerajaan Sriwijaya, dan Kerajaan Majapahit.

Walau akhirnya kesadaran Unit Politik diterima secara aklamasi, akan tetapi pendapat M. Yamin terasa makin relevan di kemudian hari. Ini terutama pasca Robert Dick Reid dan Stephen Oppenheimer berhasil mengungkap jejak kaki para pelaut Polinesia yang bertaburan di wilayah Asia Pasifik. Jejak itu terbentang mulai Amerika Latin hingga Pantai Barat Afrika. Jejak itu telah mengantar penyingkapan kolektif memori perantau Nusantara di seluruh kawasan Unit Kulutral.

B. Intensi: Perantau Unit Kultural vs Perantau Unit Politik 

Cara pandang M. Yamin terhadap bentuk wilayah Indonesia yang berangkat dari pendekatan Unit Kultural berguna dalam mengkonstruksi peta perantau Nusantara dari masa ke masa. Ada perbedaan mencolok pada motivasi merantau antara perantau Unit Kultural dan Unit Politik. Perbedaan motivasi itu mempengaruhi cara pandang perantau Nusantara terhadap Indonesia sebagai sebuah Unit Politik saat ini. 


Perantau Unit Kultural adalah mereka yang merantau ke negeri seberang jauh sebelum kelahiran wilayah Indonesia sebagai sebuah Unit Politik. Komunitas perantau ini dapat dikategorikan dalam dua periode. Periode pertama terjadi jauh sebelum era merkantilisme internasional mencengkeram Nusantara. Dalam periode ini perantau asal Nusantara tampil sebagai aktor globalisasi purba. 

Berkat pengetahuan navigasi dan teknologi perahu bercadik, mereka sukses menjalankan tugas menghubungkan Jalur Sutra Maritim sebagai nadi perekonomian dunia. Perantau periode ini kemudian banyak menetap di daerah baru di sekitar pesisir pantai timur Afrika. Di daerah baru itu mereka mengalami akulturasi dengan kebudayaan setempat.

Motivasi utama komunitas perantau periode ini adalah perdagangan. Kenangan indah akan tanah leluhur Nusantara yang gemah ripah loh jinawi terus terawat dalam kolektif memori mereka. Dalam kenangan itu harapan untuk menziarahi tanah leluhur pada suatu masa terus hidup. Periode kedua terjadi di masa merkantilisme internasional. Di masa ini ada gelombang migrasi pekerja asal Nusantara. Kapal-kapal kongsi dagang internasional membawa mereka berlabuh di pantai Lautan Atlantik dan Lautan Pasifik. Kemelaratan di negeri leluhur Nusantara akibat kolonialisme dan bencana alam telah memaksa mereka terpisah dari tanah kelahiran. Di negeri rantau mereka masih menyimpan kenangan indah akan tanah leluhurnya. Dalam kenangan itu ada harapan akan negeri leluhur. 

Berbeda dengan kemunculan perantau Unit Kultural yang dilatari niat luhur, seperti motivasi perdagangan dan bertahan hidup, perantau Unit Politik umumnya muncul akibat tragedi politik dalam negeri. Ada perantau yang terusir akibat lahirnya Indonesia sebagai Unit Politik, akibat perbedaan pandangan politik pemerintah yang berkuasa, dan akibat konflik wilayah negara. Komunitas perantau periode ini lebih lazim disebut sebagai perantau eksil. Motivasi suaka politik kental mewarnai kehidupan mereka di negeri rantau. 

Perbedaan itu tak ayal lagi turut pula mempengaruhi cara pandang perantau terhadap Indonesia sebagai sebuah Unit Politik hari ini. Cara pandang perantau Nusantara itu menentukan sejauh mana pengaruh perantau sebagai aktor independen terhadap kepentingan nasional Indonesia: konstuktif atau destruktif?

C. Interaksi: Kenangan vs Harapan 

Kenangan dan harapan adalah hidup dan menghidupi perasaan para perantau Unit Kultural. Pada tingkat domestik, dua hal ini berpengaruh terutama terhadap nilai dan norma sosial di tingkat individu. Nilai dan norma sosial di tingkat individu perantau Unit Kultural ini diasumsikan memiliki kekuatan untuk membentuk identitas dan kepentingan nasional sebuah negara. Alhasil, perilaku negara di tingkat internasional dipengaruhi oleh nilai dan norma sosial yang berkembang di antara perantau Unit Kultural ini. M. Yamin bisa jadi sudah melihat potensi ini pada masa persiapan kelahiran Indonesia. Bagi M. Yamin yang juga seorang perantau asal negeri Minang, tradisi Takana Juo dan Balik Basamo adalah wujud pengabdian seorang anak rantau terhadap negeri leluhurnya.

Baru-baru ini, bila dibandingkan komunitas perantau Unit Politik, komunitas perantau Unit Kultural justru cenderung lebih dekat dengan tanah leluhur Nusantara. Sebab, para perantau itu memiliki kemiripan identitas, motivasi, dan preferensi terhadap tanah leluhurnya. Alhasil, pola kedekatan itu berpeluang membentuk struktur sosial baru antara Indonesia dan sejumlah komunitas perantau. Bila terus dikembangkan, bukan tak mungkin struktur itu kelak dapat berpengaruh positif terhadap kepentingan nasional Indonesia.

Takana Juo alias kenangan akan tanah leluhur terus menyala dalam sanubari keturunan perantau Unit Kultural dan berpengaruh terhadap politik domestik di negeri rantau (inside the states). Sementara itu, harapan akan kehidupan yang lebih baik terus memupuk rasa rindu akan negeri asal (inside the people). Dua hal ini adalah strategis bagi tumbuhnya persepsi positif baik dari negeri leluhur maupun negeri tujuan perantau.

Persepsi itu nantinya kelak jadi lahan subur tempat bertumbuhnya perimbangan kekuatan di antara dua negara asal dan tujuan perantau. Hal lain yang menentukan kekuatan konstruksi kohesivitas diaspora selain identitas, motivasi, dan preferensi adalah manfaat kongkrit dari tali silaturahmi yang telah terbangun. Misalnya ikatan emosi di antara dua negara itu yang tumbuh lantaran reflektifisme masa lalu diwujudkan menjadi kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan. Bahkan, tak menutup kemungkinan dapat dikembangkan menjadi peluang Voting Power di berbagai forum multilateral untuk kepentingan kedua belah pihak. 

Terlepas dari kisah sukses para perantau Unit Politik, kesadaran Unit Kultural ini idealnya adalah modal reflektifisme diplomasi publik Indonesia. Diaspora Nusantara layak berangkat dari kesadaran konsep perantau à la M. Yamin.

Tabik! 

=== 

Rujukan

Robert Dick-Read. Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika. Terj. Edrijani Azwaldi. (Bandung: Mizan, 2005).

Yudi Latif. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. (Jakarta: Gramedia, 2011).

Mochtar Naim. Mengapa Orang Minang Merantau? (Jakarta: Tempo, 31 Januari 1975). 

William H. Frederick dan Soeri Soeroto. Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. (Jakarta: LP3ES, 1984).

Susanto Zuhdi. Nasionalisme, Laut, dan Sejarah. (Depok: Komunitas Bambu,2014).

Stefano Guzzini, Anna Leander. Constructivism and International Relations Alexander Wendt and his Critics (The New International Relations). (New York: Routledge, 2006).

Foto tersedia di tautan padamu.net

Thursday, August 30, 2018

Presiden Namibia Kunjungi Museum KAA



Selang sehari usai bertemu Presiden RI Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor pada Kamis, 30/8/2018, Presiden Republik Namibia Hage Gottfried Geingob mengunjungi Museum KAA pada Jumat, 31/8/2018.

Turut hadir menyambut dan mendampingi kunjungan itu adalah Kepala Museum KAA Meinarti Fauzie, dan Duta Besar RI untuk Namibia Eddy Basuki.

Di bawah ini adalah berita terkait kunjungan dimaksud. 

===

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Presiden Namibia Dr Hage Gottfried Geingob mengunjungi Museum KAA di Bandung, Jawa Barat, Jumat (31/8). Ini merupakan kunjungan Hage Gottfried Geingob yang kedua ke  Museum AA.

Kepala negara di Afrika bagian barat daya itu sebelumnya pernah menginjakkan kaki di Museum KAA saat menghadiri perhelatan peringatan 50 Tahun KAA yang digelar di Bandung dalam rangkaian acara KTT Asia Afrika 2005 di Jakarta.

“Saya juga dulu ikut peristiwa itu (Langkah Bersejarah, red),” katanya kepada Kepala Museum KAA Meinarti Fauzie saat mendapat penjelasan tentang kisah Langkah Bersejarah dari edukator Museum KAA, Desmond S Andrian.

Dalam kunjungan itu, Presiden Hage Gottfried Geingob dengan tekun menyimak penjelasan kisah KAA mulai dari tahap latar belakang, perumusan, dan pelaksanaan hingga dampaknya terhadap perdamaian dunia.

Di ruang pameran tetap, kata Meinarti, Hage Gottfried Geingob sangat antusias melihat panil-panil situasi internasional menjelang KAA. Pasalnya, pada salah satu panil itu terdapat sebuah foto peristiwa yang terkait peristiwa di negaranya pada masa silam.

Meinarti menambahkan, di dalam ruang utama Gedung Merdeka, Hage Gottfried Geingob sempat memberikan sambutn singkat. Dalam sambutannya, ia mengapresiasi pelayanan Museum KAA. Ia pun sempat meminta agar  informasi terkait negara-negara Afrika dapat lebih banyak disajikan di Museum KAA.

Presiden Namibia yang berkunjung bersama 40 anggota delegasinya itu mengenakan setelan jas berwarna biru muda. Selama tur museum itu, ia didampingi pula oleh putrinya, Dangos Geingos.

Kunjungan Presiden Namibia kali ini merupakan kunjungan kenegaraan di Indonesia. Kunjungan itu berlangsung pada  29 Agustus hingga 1 September 2018. Pada Jumat (31/8), rombongan Presiden Namibia berkunjung ke Bandung. Selain ke Museum KAA, mereka juga mengunjungi PT Dirgantara Indonesia.

Dalam kunjungan yang bertujuan untuk menjajaki berbagai kemungkinan peningkatan kerja sama bilateral antara Indonesia dan Namibia itu, Presiden Hage Gottfried didampingi pula oleh Duta Besar LBBP RI untuk Republik Namibia, Eddy Basuki.

Museum KAA adalah Unit Pelayanan Teknis di bawah koordinasi Direktorat Diplomasi Publik, Ditjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI. 

Sabtu 01 September 2018 21:00 WIB 
Rep: Wachidah Handasah/ Red: Irwan Kelana 

https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/18/09/01/pedqww374-presiden-namibia-kunjungi-museum-kaa

Saturday, August 18, 2018

Sampai Jumpa Kofi Annan!



Tiga belas tahun silam tepatnya Sabtu, 24 April 2005 sekira pukul 11.30WIB Sekretaris Jenderal PBB Koffi Anan melintas di salah satu pintu di selesar tengah Gedung Merdeka.

Salah seorang anggota Paspampres yang bertugas di pintu itu menganggukkan kepala ke arah saya. Bergegas saya menghampiri sosok penting di organisasi suprastruktur dunia itu.

Sekilas berlangsung percakapan singkat. Ah, rupanya mesin pendingin ruang bekerja terlalu baik. Akibatnya, beliau harus ke restroom.

Kehadiran Beliau pada perhelatan perdana bangsa-bangsa kulit berwarna pasca berakhirnya Perang Dingin itu menandai kemajuan politik yang telah diraih bangsa Asia Afrika 63 tahun silam. Dalam balutan jas berwarna cerah Beliau dan sang istri bergabung dengan 1978 delegasi lainnya asal 106 negara Asia dan Afrika.

Saya mengingat kalimat Beliau yang paling krusial saat perhelatan KTT Asia Afrika 2005 adalah pentingnya membangun kesadaran baru tentang gugus kerja yang mampu mengakomodasi percepatan perubahan konstelasi ekonomi. Sedikit saja tak tepat atau terlambat, pola bisa berubah menjadi asimetri dan berujung ekploitasi.

Lebih dalam lagi Beliau mengungkapkan kekhawatirannya itu dalam sebuah jurnal bertajuk 'How can Asia help Africa?". Jurnal ini Beliau tulis beberapa tahun setelah perhelatan di Bandung pada tahun 2005.

Kekhawatiran-kekhawatirannya terefleksi pada kemunculan sejumlah kekuatan ekonomi baru di belahan bumi Asia. Kemunculan itu diiringi pula dengan kompetisi akan pemenuhan energi yang menjadi bagian dari penjamin keberlangsungan kekuatan ekonomi tadi.

Di sisi lain Afrika selain menawarkan ketersediaan energi juga ramah sebagai tujuan pasar atas sejumlah produk massal asal kekuatan ekonomi di Asia.

Singkatnya, Afrika tak ubahnya menjadi arena 'battle field' berbagai kepentingan kekuatan ekonomi tadi.* 

So long, Chief! Bon Voyage! Adieu!

Friday, July 20, 2018

‘Jarum Pentul’, Rekatkan Museum KAA dan Publik


Dari kiri ke kanan: Kepala Museum KAA Meinarti Fauzie dan Direktur Diplomasi Publik Azis Nurwahyudi dalam sesi presentasi inovasi pelayanan publik di Kemenpan RB pada Jumat, 20/8/2018. (Sumber Foto: Kemenpan RB)

Pada tahun 2004 jumlah pengunjung museum adalah 54,478. Pasca Peringatan 50 Tahun KAA tahun 2005 Ruang Pameran Tetap Museum KAA direnovasi total. Alat peraga koleksi dirancang interaktif dan menarik. Alhasil, jumlah pengunjung meningkat. Tahun 2006 pengunjung beranjak naik menjadi 87.692 orang. Hingga tahun 2016 angka pengunjung Museum KAA terus meningkat hingga mencapai 266.747 orang. Akan tetapi, tingkat kepuasan pengunjung Museum KAA terhadap pelayanan publik menurun. Rendahnya tingkat kunjungan itu berhubungan dengan ketersediaan SDM dan fasilitas yang tidak seimbang dengan jumlah pengunjung.

Untuk itu, Museum KAA sebagai UPT di Direktorat Diplomasi Publik Kemenlu menerapkan inovasi Jarum Pentul yang merupakan akronim dari Jadi Relawan Museum Itu Penting dan Gaul. Jarum Pentul mempromosikan kebiasaan baru bahwa tanggung jawab pengembangan museum tidak melulu oleh museum tetapi juga oleh masyarakat, terutama generasi muda.

Museum KAA mengimplementasikan Jarum Pentul melalui Klub Edukator Sahabat Museum KAA yang melibatkan relawan yang dibekali pengetahuan sejarah KAA dan teknik edukasi museum untuk membantu penyuluhan Nilai-nilai KAA kepada pengunjung Museum KAA melalui strategi belajar yang mengutamakan unsur pengalaman, atmosfir, dan pelayanan.

Dampaknya, dalam sinergisitas itu Museum KAA mampu menampilkan kisah sejarah KAA dengan lebih menarik untuk pengunjung museum dengan cara diperagakan, seperti kejadian, aturan, dan urutan peristiwa sehingga pengunjung dapat melihat proses atau cara kerja KAA, seperti dalam acara Night at the Museum, Bandung Historical Study Games, dan Weekend Tour Service.

Berkat inovasi Jarum Pentul Museum KAA kini sudah dikenal sebagai museum perintis program publik di Indonesia dan telah dua kali diganjar penghargaan Museum Menyenangkan pada tahun 2015 dan tahun 2017 dalam ajang Indonesia Museum Award. Museum KAA telah sejak tahun 2011 berkomitmen mempertahankan Jarum Pentul sebagai salah satu instrumentasi pendukung pelayanan publik. Jarum Pentul berpeluang direplikasi di museum dengan penyesuaian (adjustment) dan adaptasi (adaptation) terhadap karakter koleksi, SDM, fasilitas, dan masyarakat setempat.

Menlu Retno Kunjungi Museum KAA


Menlu Retno LP Marsudi berpose bersama pimpinan dan staf Museum Konferensi Asia Afrika pada Sabtu, 14 Juli 2018 di Ruang Pameran Tetap Museum di Gedung Merdeka Jalan Asia Afrika No.65 Bandung. Sesi foto ini diambil usai Menlu Retno menggelar dialog langsung bersama 370 relawan dan anggota Sahabat Museum KAA di Ruang Utama Gedung Merdeka.

Museum ini nyaris 38 tahun silam didirikan atas gagasan Menlu Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, L.LM sebagai bagian dari upaya diplomasi berbasis nilai-nilai unggul Indonesia. Nilai-nilai itu yang diwarisi dari KAA 1955 dilestarikan untuk tujuan aset diplomasi RI.

Kemudian untuk menyambut perhelatan KAA ke-2 pada tahun 2005 Menlu Hassan Wirajuda menginisiasi renovasi total ruang pameran tetap museum menjadi lebih interaktif dan komunikatif. Sejak itu pengunjung museum ini beranjak naik hingga 5 kali lipat dari yang tadinya hanya di sekitar 54 ribuan. Tak hanya meningkat, tetapi juga berkembang terutama agregatnya.

Tahun 2009 Menlu Marty Natalegawa usai menghadiri seminar dan pameran bertajuk 'Mochtar Kusumaatmadja' di Gedung Iwa Kusumasumantri Universitas Padjadjaran menyambangi Museum KAA.

Kembali lagi ke kunjungan Menlu Retno tadi, usai berfoto, sambil berpamitan pulang, Beliau dengan hangat menyalami satu per satu staf Museum KAA dan berpesan, "Saya titip museum ya Ibu dan Bapak."

Menlu Retno juga menyampaikan berjanji akan datang kembali ke Museum KAA suatu saat untuk berjumpa dengan Sahabat Museum KAA.

Kepada para relawan dan anggota Sahabat Museum KAA, Beliau mengingatkan akan relevansi dan dampak positif peristiwa KAA bagi Indonesia dan dunia saat ini.

Thursday, July 19, 2018

Polemik Tiang Bendera

Ilustrasi foto di salah satu sudut Kota Jakarta. (Sumber Foto: Facebook)

Pertama kali menginjakkan kaki di Gedung Societeit Concordia saya menerima tugas menghitung tiang bendera di ruas Jalan Raja Timur lantaran tak lama lagi akan dipasang 106 bendera asal benua Wakanda.

Tak hanya menghitung tapi juga memeriksa kelayakan tiang per tiang. Belum usai melaporkan hasil pemantauan, akibat mengetahui salah satu bahasa di negeri Wakanda, saya diminta mendampingi seorang kurator bendera asal sebuah organisasi internasional untuk memeriksa akurasi warna, ukuran, dan citra setiap bendera.

Usai itu, pada Jumat, 23 April 2005 serentak 106 bendera dikibarkan. Ada satu bendera yang memiliki warna tak akurat. Salah satu aid-de-camp asal negara itu misuh-misuh tak henti dalam bahasa Wakanda.* Saya melipir sampai suara misuh-misuh itu lenyap ditelan kebisingan pasukan pengamanan.

Tiang yang saya hitung tadi, terutama di sekeliling Gedung Societeit Concordia dan Gedung Schouwbourg, ternyata pada titik tertentu ditanam di sejumlah makam kuno. Info ini berasal dari salah seorang tukang gali. Menurutnya, besi-besi tiang bendera itu baru terpasang sepekan sebelum perhelatan karena banyaknya kebutuhan tiang bendera di Bandara Kemayoran dan Bandara Andir.

60 tahun kemudian tiang-tiang bendera yang pernah menjadi simbol perlawanan negeri-negeri Wakanda itu dibabat oleh tukang-tukang atas perintah....ah syudahlah.

Tuesday, July 10, 2018

Mitos Solidaritas Asia Afrika

Rabu, 11 Juli 2018, Pkl. 16.30-20.00WIB di Sekretariat Sahabat Museum KAA, mari ngobrol-ngobrol sore bersama Asian-African Reading Club.


Begini kisahnya.

Sekian tahun silam, Mas Nyoman menyodorkan sebuah pertanyaan sederhana, "Mengapa kata solidaritas dipakai oleh negara Asia dan Afrika?".

Sebelumnya, Mas Bob telah mendahului bertanya kepada saya. Sambil menatap saya tajam saat menghadapnya, beliau berujar, "Solidaritas itu tak pernah ada. Itu yang kamu harus buktikan, Bung."

Dua pertanyaan mendasar ini saya temukan jawabannya dalam wawancara bersama Bapak Ramli Saud di sebuah sore yang cerah di sebuah perguruan tinggi bergengsi di bilangan Sudirman di Jakarta.

Hasil wawancara itu saya bandingkan dengan hasil riset Leo Suryadinata. Blaaaar! Mas Poer membantu rekonstruksi argumentasi ini.

Secara tak sengaja saya juga dibantu oleh seorang pustakawan di bilangan Pejambon. Ia menunjukkan kepada saya sejumlah hasil FGD internal yang mengulas rendahnya perhatian PLN RI terhadap benua Afrika.

Koffi Anan dalam sebuah artikel yang menarik pada tahun 2012 menjelenterehkan bahayanya pola hubungan Asia dan Afrika yang makin menuju ke pola asimetris. Untuk itu, ia menjuduli artikelnya dengan "How Asia can help Africa?"

Secara khusus ada dua faktor utama yang besok akan didiskusikan bersama para pegiat literasi Asian-African Reading Club.

Dah segitu aja dulu!

Thursday, July 5, 2018

Museum di Tapal Batas Negeri



Museum Kapuas Raya adalah museum di negeri tapal batas. Berada di perbatasan Indonesia dan Malaysia.

Museum ini didirikan atas hasil kerja sama antara Museum Tropen Belanda dan Pemerintah Kabupaten Sintang pada tahun 2008 silam. Koleksi yang dimiliki merepresentasikan kerukunan antara tiga etnis besar di Kabupaten Sintang, yakni Dayak, Melayu, dan Tionghoa.

Ada empat ruang pameran, yaitu Sejarah Sintang, Kebudayaan Sintang, Tenun Ikat, dan Sejarah Lambang Negara. Selain itu, terdapat pula satu buah perpustakaan dengan koleksi buku-buku tentang sejarah dan kebudayaan Sintang.

Museum yang telah berusia hampir satu dasawarsa ini kerap menjadi tuan rumah pameran internasional negara-negara Asia Tenggara. Hampir setiap tahun pengelola museum ini juga menghadiri berbagai perhelatan museum internasional.

Program publik di museum ini juga dikembangkan untuk melibatkan masyarakat melalui Sahabat Museum.

Satu lagi, saya merasa memiliki keluarga di sini. Tak lupa sambal nanas dan sayur nanas berikut ikan seluang gorengnya membuat saya terhenyak ke masa kecil di Tanjung Enim.

Terakhir, bahasa di Sintang membuat rindu kepada kampung halaman di kaki Bukit Barisan.

Monday, July 2, 2018

Hirarki di Asia Timur

Sabtu petang, 23 April 1955 di Gedung Dwi Warna Bandung PM Zhou Enlai di luar dugaan menyatakan bersedia berdialog dengan AS demi stabilitas kawasan Asia Timur.

Melihat manuver itu, PM Ali Sastroamidjojo lantas meminta kesediaan PM Zhou Enlai sekali lagi mengulangi pernyataan itu dalam sebuah konferensi pers yang dihelat di bilangan Ciumbuleuit.

Ratusan wartawan asal media nasional dan internasional berlomba-lomba mengabarkan kehebohan Ciumbuleuit itu melalui radiogram di Kantor Pos Besar Bandung. 

Sayangnya John Foster Dulles tak memanfaatkan kesempatan itu. Baru kemudian di tahun 1972 Nixon berkenan membuka dialog dengan PM Zhou Enlai. Pertemuan itu melahirkan kesepakatan yang banyak mengutip sila-sila Dasasila Bandung.

Salah satu isi kesepakatan itu adalah PM Zhou Enlai menjamin kesediaan seluruh aktor di Asia Timur untuk bersikap kontra aliansi tanpa aliansi demi masa depan Asia Timur yang berdaulat, aman, dan sejahtera.

Genealogy hirarki di Asia Timur lahir dari kesepakatan itu.

Saturday, June 9, 2018

Sosok Penting di Balik Perang Indochina


Jenderal Võ Nguyên Giáp (Republik Demokratik Vietnam) terbukti lebih unggul strategi perangnya dibanding Jenderal Henri Eugène Navarre (Perancis) di Perang Indochina I.

Kekalahan Perancis itu telah mendorong munculnya pertemuan yang membahas nasib Indochina di Jenewa pada akhir April 1954. RRT yang diwakili Zhou Enlai mengalami perlakuan kurang menyenangkan dari para delegasi Blok Barat selama pertemuan itu berlangsung. Sementara posisi Republik Demokratik Vietnam (Vietnam Utara) makin tajam terhadap Negara Vietnam (Vietnam Selatan).

Pertemuan Jenewa itu sangat strategis. Pasalnya, bila saja gagal, konflik diduga akan menyeret seluruh kawasan Asia Tenggara. Untuk itu, sejumlah negara eks koloni Inggris menginisiasi pertemuan multilateral di Colombo, Sri Lanka guna mencari jalan tengah bagi ancaman keamanan regional mereka.

Sosok penting di balik Perang Indochina adalah salah satunya Hồ Chí Minh.

Friday, June 8, 2018

Workshop Ramadan


#Repost @kaka_cafe • • • Adalah kebahagian bagi banyak orang bisa kenal dengan Pak Desmond Satria Andrian, apalagi bisa belajar darinya langsung terkait geopolitik internasional.

Karena itulah KabarKampus.com menghadirkan beliau untuk berbagi perspektif dengan teman-teman muda Bandung memahami dunia yang semakin kompleks ini.

Dalam kelas limited di @KaKa_cafe ini, teman-teman seperti mendapatkan sepercik sinar Lailatul Qadar dalam memandang dunia. Horison terasa lebih luas dan jelas. Rongga dada menjadi semakin besar, tidak mudah sesak lagi.

Tampak di foto, direktur kabarkampus.com @FurqanAMC menyerahkan sertifikat sebagai tanda terima kasih kepada Pak Desmond atas dedikasinya dan sebagian peserta hadir mewakili yang lainnya.

Terima kasih Pak Desmond.

#sisteminternasional #internasional #workshop #workshopramadhan #ekonomi #politik #ekonomipolitik #bandung #eventbandung #kafe #kafebandung #mahasiswabandung #mahasiswibandung #intelektualbandung #aktivisbandung

Bulan Puasa di Negeri Singa

Konon pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, International Office pertama yang dimiliki pemerintah Indonesia di luar negeri adalah di Singapura.

Demikian buku Sejarah Diplomasi Indonesia terbitan Kemenlu tahun 1992 mengungkapkan upaya diplomasi perjuangan yang ditempuh dalam periode Revolusi Fisik untuk mendapatkan pengakuan de facto dan de jure.

Dari International Office ini juga pada masa itu tercatat sejumlah aktifitas pembelian senjata sisa Sekutu untuk memperkuat perlawanan bersenjata di tanah air. Senjata dibawa menggunakan kapal kecil yang disamarkan seperti kapal nelayan biasa.

Sayangnya, aktifitas itu terbongkar oleh NICA. Bung Hatta segera diutus oleh Bung Besar ke New Delhi untuk membeli sisa senjata Sekutu lainnya tapi Jawaharlal Nehru tak bersedia lantaran khawatir beresiko perang terbuka dengan Sekutu. Pasalnya, peristiwa terbongkarnya jual beli senjata di Singapura oleh media dan NICA bakal merembet ke India. Padahal India dan Sekutu sedang dalam tahap penyelesaian akhir sisa Perang Dunia II.

Namun, Nehru berjanji kelak membantu upaya pengakuan kedaulatan Indonesia dan janjinya tunai terbukti pada perhelatan Inter Asia Relation Conference di New Delhi yang dihadiri oleh PM Sutan Sjahrir.

Dalam pertemuan multilateral pertama bangsa-bangsa Asia itu PM Sjahrir pertama kali mengutarakan konsep politik luar negeri bebas aktif Indonesia.

Dah segitu aja.

Tuesday, June 5, 2018

Reuni Ciumbuleuit



Keterangan Foto:
 Dari kanan ke kiri: Sapta Dwikardana, Ph.D., Kaprodi HI Unpar Sylvia Yazid, Ph.D., Kepala Museum KAA Meinarti Fauzie, M.DAT, Rektor Unpar Mangadar Situmorang, Ph.D., Direktur Informasi dan Media Kemenlu Listiana Operananta, Sukawarsini Djelantik, Ph.D., Anggia Valerisha, M.Si, dan Bujang Ringam Nian.

===

Tuhan mungkin telah mengirimkan Mas Mangadar untuk mengabarkan kerendahan hati dalam berilmu kepada saya dan Oppa Lee jauh sebelum Beliau menjabat sebagai Rektor Universitas Katolik Parahyangan.

Alkisah usai UTS, saya duduk diam termenung di kelas Beliau sambil membolak balik lembar jawaban UTS yang makin lusuh lantaran dibaca berulang kali. Di sisi kanan saya terdengar dengus nafas dari seorang oppa-oppa asal Korea Selatan yang kebetulan sama-sama sedang ‘ngangsu elmu lan kaweruh’ dari Beliau.

“Dapat berapa kamu?” ujar Oppa Lee yang konon kemudian hari jadi salah seorang pejabat teras di Kementerian Reunifikasi di Negeri Ginseng kepada saya sambil menatap nanar.

“(dapat) 33!” balas saya dengan suara tak bergairah. “Kamu (dapat) berapa, Oppa?” timpal saya kepadanya.

“Haha...saya (dapat)30!” jawabnya dengan lirih.

“Ah, ada yang lebih kecil lagi,” saya bergumam dalam hati sambil tertawa geli.

Sejak itu, kami makin jarang bertemu akibat (mungkin) masing-masing sibuk berkontemplasi demi transformasi dari wujud ‘jejaden jalmi’ menjadi ‘manungsa’ agar menjadi manusia yang seutuhnya sekaligus beriman dan bertakwa kepada-Nya.

Usai sesi foto bersama pekan lalu, Mas Mangadar dengan gayanya yang bersahaja seperti biasa menghampiri saya sambil berujar, “Mana surat rekomendasi yang aku harus teken? Katanya mau ke Sorbonne?”

Pertanyaan ini terasa lebih berat dari soal UTS di kala silam bersama Oppa Lee.

Dah segitu aja.

Saturday, May 19, 2018

Mas Hendrajit, Sang Guru


Salah satu guru terbaik saya dalam analisa Scheming Analytical, yakni Mas Hendrajit pada Senin, 7 Mei 2018 tetiba mampir ke Gedung Eks Societeit Concordia.

Seperti biasa saya langsung menyiapkan diri untuk 'ngangsu elmu lan kaweruh' dari Beliau. Secangkir kopi hitam panas dan keretek meluncur di meja.

Sosok ini membagikan banyak hal, termasuk isu terkini soal Weaponry Laundry Scheming di salah satu negara eks USSR di Eropa Timur. "Dua negara di Afrika dan satu negara di Asia Tenggara diyakini terlibat dalam skema berjejaring ini," ucapnya soal Weaponry Laundry Scheming.

Ia pula menyinggung orientasi Polugri di Indo-Pacific Barat yang dikelola saat ini bisa saja berpeluang boomerang.

Akan tetapi, menurutnya, geografi sebagai determinant factor tetap akan menjadi titi mangsa analisa power, purpose, dan scheme.

Misalnya, ia mencontohkan scheme dan contra-scheme di Indo-Pacific Barat. "Kawasan itu sedang dipersiapkan sebagai jembatan menuju Amerika Latin. Ini mirip Indian Ocean. Jadi, kita berada di antara tiga ground-well, yakni LTS , Pasifik Selatan, dan Indian Ocean," urainya.

Jika sudah mencapai scheme, langkah selanjutnya adalah contra-scheme. Inilah titik teratas analisa kebijakan luar negeri.

Akan halnya sosok raksasa baru di Asia Pasifik yang makin menggeliat, ia mendorong agar kembali ke Pancasila dan UUD 1945 sebagai komitmen kebangsaan terhadap kepentingan nasional dan keamanan nasional.

Saat FGD Evaluasi Kebijakan Politik Luar Negeri di bulan Desember 2016 silam, ia sengaja meminta saya tampil sebagai pemakalah untuk topik 'Indonesia-Afrika: Aliansi Simetri atau Asimetri' di hadapan praktisi dan akademisi Polugri.

Bung Tito dan Pancasila




Belum begitu lama Sang Surya tergelincir pada Rabu, 9 Mei 2018 Bung Tito Zeni Asmarahadi tetiba beranjang sana di Eks Gedung Konstituante.

Bung Tito adalah karib kental saya sejak lama saat menuangkan kegelisahan-kegelisahan sosial yang terus bergerak liar. Saat penyusunan timelines film Sukarno, Bung Tito mengajak saya hadir bersama tim riset untuk berdiskusi mendalam tentang pemikiran internasionalisme Bung Besar.

Diskusi soal isu kebangsaan petang itu segera meluncur sambil ditemani kopi panas dan keretek. Ada banyak perspektif baru tentang Pancasila.

FYI, Bung Tito adalah putra kandung Alm. Asmarahadi yang sekaligus menantu Bung Besar. Selama masa pembuangan di Ende, Flores, Bung Besar secara intensif berdiskusi soal konsepsi Pancasila bersama mendiang Ayahanda Bung Tito.

Menyinggung situasi terkini, Beliau terus berharap dan berusaha agar semua anak bangsa kembali ke jati diri, yakni Pancasila.

Bung Tito pamit sambil mengepalkan tangan dan berseru, "Merdeka!"* Panjang Umur Kesetiakawanan, Bung!

Thursday, April 26, 2018

Di Bawah Bendera Revolusi


Berpose bersama Ibu Suke Djelantik dan Anggia Valerisha usai diskusi persiapan pelaksanaan acara diskusi dan peluncuran buku bertajuk ''Diplomasi di Era Dijital" pada Kamis, 26 April 2018 di Selasar Societeit Concordia Jalan Grote Post Ujungberung Ouesd.

Buku yang akan dikupas di Museum KAA pada Senin, 14 Mei 2018, Pkl. 08.00WIB ini merupakan hasil riset mendalam yang dilakukan Prodi HI Unpar.

Bagaimana Kemlu secara efektif memanfaatkan media sosial sebagai instrumen diplomasi untuk meraih dukungan publik secara nyata terhadap kepentingan nasional.

Setidaknya menurut Keohane dan Nye, tidak ada informasi yang bermuara di media massa berasal dari ruang hampa melainkan datang dari ruang yang telah terpolitisasi.

Lalu, bagaimana dengan media sosial? Apakah media sosial efektif sebagai sarana instrumentasi diplomasi? Apakah content atau audience target yang lebih strategis dalam diplomasi dijital? Apakah interdependence complex dalam keamanan informasi media sosial tidak menjadi boomerang bagi negara komunikator itu sendiri?

Dah segitu aja.

Tuesday, April 24, 2018

Konsolidasi Substansi


Konsolidasi substansi adalah kunci majunya perjuangan yang radikal dan progressive revolutionary.

"Sudah saatnya menghentikan upaya mendefinisikan apa pun. Kini saatnya perlu merajut barisan yang laten dan penetratif melalui Front Nasional," himbau Bang Furqan Amc sebagai Kepala Suku Geostrategic Study Club sebagai arahan utama nilai-nilai dasar perjuangan.

Foto bersama anggota Klub Edukator Sahabat Museum KAA diambil di Gedung Dwiwarna pada Jumat, 20 April 2018, Pkl. 20.00WIB menjelang Peringatan Hari Lahir Kesetiakawanan Bangsa Kulit Berwarna.

Gedung Dwiwarna adalah tempat tali pusar jabang bayi Dasasila Bandung ditanam.

Pekik Salam Nasional!