Sunday, September 16, 2018

Merawat Solidaritas Dunia Ketiga


Peserta bimbingan teknis berfoto bersama Direktur Kerja Sama Teknik Kemenlu Mohammad Syarif Alatas,  Kepala UPT Lab Bahasa Universitas Udayana Dr. I Nyoman Udayana, M.Lit., mentor native speaker Mr. Ian Marshall di Ruang Paruman Agung Inna Sindhu Beach Hotel Sanur Bail pada hari Sabtu, 15/9/2018. (Sumber Foto: Zainal Abidin)

BALI, SANUR -- “Karena Ibu dan Bapak telah rela bekerja menolong orang-orang maka saya juga rela membantu Ibu dan Bapak di sini,” ujar Ian Marshall di penghujung acara bimbingan teknis peningkatan kapasitas para penyelenggara Kerja Sama Selatan-Selatan Indonesia pada Sabtu, 15/9/2018 di Sanur Bali.

Pesan Ian Marshall mengamini kekuatan gagasan 'Masyarakat Internasional' dalam mewujudkan kerja sama yang simetris dan luwes. Relawan asal Australia itu mendampingi para kelompok ekspertis asal 20 lembaga di wilayah timur Indonesia dalam acara Bimbingan Teknis Peningkatan Kapasitas Penyelenggara Kerja Sama Selatan-Selatan (KSS) Indonesia yang dilaksanakan oleh Direktorat Kerja Sama Teknik Kemenlu dan Universitas Udayana mulai Senin, 3 hingga Sabtu, 15/9/2018 di Hotel Inna Sindhu Beach Jalan Pantai Sindhu Sanur Kota Denpasar.

Kegiatan dibuka resmi oleh Direktur Diplomasi Publik Azis Nurwahyudi pada Senin, 3/9/2018, Pkl. 08.00WIB di Ruang Paruman Agung Hotel Inna Sindhu Beach. Dalam sambutannya, ia menyampaikan apresiasi kepada seluruh lembaga penyelenggara KSS Indonesia yang telah berkontribusi dan bersinergi sebagai non-state actors dalam mendukung peningkatan kapasitas soft power Indonesia dalam program KSS.  

“Semoga para implementing agencies terkait dapat memanfaatkan dengan optimal acara bimbingan teknis ini untuk keperluan transfer ilmu pengetahuan kepada para negara peserta program KSS Indonesia,” katanya. 

Selanjutnya, Kepala Subdirektorat KST pada Organisasi Internasional Victor S. Hardjono menyampaikan sebuah paparan bertajuk Perkembangan KSS. Dalam paparan itu, disampaikan latar belakang KSS, dan capaian-capaian KSS Indonesia hingga perkembangan KSST.  “Indonesia merupakan negara dengan profil baik di KSS lantaran memiliki kontribusi tinggi,” jelasnya. Untuk itu, lanjutnya, koordinasi sinergisitas antara kementerian dan lembaga terkait perlu terus didorong.  

Acara bimbingan teknis ditutup resmi oleh Direktur Kerja Sama Teknik Mohammad Syarif Alatas pada hari Sabtu, 15/9/2018. “Saya berharap para lembaga penyelenggara KSS Indonesia dapat terus membangun sinergisitas. Pasalnya, ada kecenderungan peningkatan permintaan kerja sama teknik kepada Indonesia dalam kurun waktu terakhir,” pungkasnya.   

KSS dan Dunia Ketiga 
Pasca KAA 1955, muncul komunitas Group of Asia Africa (GAA) di Sidang Umum PBB antara tahun 1955-1960. GAA digawangi mantan PM RI Ali Sastroamidjojo yang kemudian ditunjuk Bung Besar sebagai Dubes LBBP RI untuk PBB sekaligus Kawasan Amerika. Ada sekira 25 negara Asia dan Afrika yang aktif di dalamnya. Mereka umumnya baru jadi anggota PBB akibat permainan veto DK PBB.  

Kekisruhan politik dalam negeri terutama gonjang-ganjing PNI telah mendorong Dubes Ali memutuskan pulang untuk membenahi PNI. GAA usai ditinggal Ali Sastroamidjojo menjelma menjadi Group of 77. Sekali ini cakupannya meluas hingga ke negara Amerika Latin. 

Group of 77 selanjutnya berhasil meyakinkan PBB mewujudkan sebuah mekanisme pembangunan berkeseimbangan melalui UNCTAD. Sejak itu muncul geliat kerja sama yang lebih simetris (Selatan-Selatan) sebagai koreksi atas pola tradisional yang asimetris (Utara-Selatan).

Pola ini, yang diharapkan dapat menjadi forum bersama Dunia Ketiga yang berkarakter interdependen, interkoneksi, dan interrelasi, dikenal sebagai Kerja sama Selatan-Selatan. 

Indonesia dan KSS 
Indonesia sejak tahun 1980-an aktif dalam mendukung kerja sama simetris ini. Terutama setelah Orde Baru memutuskan tampil kembali di politik internasional, kerja sama itu makin menguat.  

Pasca doktrin baru PLN RI yang menambahkan paragraf baru dari Rowing Two Reefs menjadi Navigating a Turbulent Ocean, dua pilar all direction diplomacy untuk arena dan total diplomacy untuk aktor melibatkan seluruh komponen bangsa, termasuk berbagai lembaga ekspertis yang berada di naungan kementerian dan lembaga.

Orkestra dua pilar ini memerlukan keterlibatan stakeholders secara aktif dan partisipatif. Pasalnya, sinkronisasi antara arena dan aktor dalam doktrin baru ini sejalan dengan konsep soft power dan peran 'Masyarakat Internasional' untuk kepentingan nasional Indonesia

No comments:

Post a Comment